Minggu, 29 Juni 2008

Perlunya Penegakan Etika Periklanan Indonesia (EPI)

Jumlah tayangan iklan-iklan komersial dewasa ini semakin meningkat, baik di media massa konvensional (televisi, radio, koran, majalah, dsb) maupun di media non konvensional. Iklan kini telah digunakan sebagai main campaign atau kampanye utama dalam memasarkan suatu produk atau jasa. Para pemasar pun tidak segan-segan mengeluaran uang berjuta-juta bahkan bermilyar-milyar hanya agar produk mereka di kenal oleh audiens atau masyarakat luas. Sebab, mereka beranggapan bahwa iklan adalah alat yang paling efektif untuk membujuk audiens agar menentukan suatu pilihan kepada merek produk tertentu.
Sebagai ujung tombak dalam komunikasi pemasaran, iklan memiliki peranan yang sangat penting. Oleh sebab itu, dalam iklim kompetisi bisnis seperti sekarang ini, tidaklah mengherankan apabila iklan sering disalahgunakan. Maksudnya adalah iklan digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan yang sifatnya tidak normatif atau menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI), Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, maupun Tata Krama Asosiasi Profesi. Hal ini diperkuat dengan beberapa kasus pelanggaran iklan yang temuan oleh Komisi Periklanan Indonesia (KPI) yang bernaung di bawah Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI). Kasus pelanggaran tersebut banyak terdapat pada iklan-iklan produk-produk kesehatan, baik itu obat, suplemen, minuman kesegaran, ataupun produk-produk lainnya.
Melihat kenyataan di atas, seharusnya audiens bisa lebih bersikap kritis dalam membaca iklan. Sebab hingga saat ini, masih banyak iklan yang diduga telah melanggar ketentuan-ketentuan dalam Etika Pariwara Indonesia. Contohnya : iklan susu anak versi “anak menggendong ayahnya”. Dalam iklan tersebut, digambarkan seorang anak kecil yang bisa menggendong ayahnya karena minum susu yang diiklankan. Adegan tersebut jelas memberi edukasi negatif kepada audiens khususnya anak-anak. Sebab dalam Etika Pariwara Indonesia telah ditegaskan bahwa iklan dilarang menampilkan adegan yang tidak pantas dilakukan oleh anak-anak. Setelah dikritik oleh beberapa pihak, seperti Komnas Perlindungan Anak, akhirnya iklan tersebut direvisi. Lalu dalam versi perbaikannya, adegan “anak yang menggendong ayahnya” dihilangkan.
Contoh lain adalah kasus iklan cetak Benadryl CM dan Benadryl DMP. Unsur kesalahan utama dalam iklan tersebut terletak pada penggunaan alat medis berupa stetoskop sebagai background. Hal ini jelas telah melanggar ketentuan yang ada dalam Etika Pariwara Indonesia Bab III bagian A ayat 2 butir 2.3.4., yang berbunyi bahwa “Iklan tidak boleh menggambarkan atau menimbulkan kesan pemberian anjuran, rekomendasi, atau keterangan tentang penggunaan obat tertentu oleh profesi kesehatan seperti dokter, perawat, farmasis, laboratoris, dan pihak-pihak yang mewakili profesi kesehatan, beserta segala atribut, maupun yang berkonotasi profesi kesehatan”. Selain itu, iklan tersebut juga telah melanggar Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 368/Men.Kes/SK/IV/1994, tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Petunjuk Teknis A ayat 10, yang menyatakan bahwa “iklan obat tidak boleh diperankan oleh tenaga profesi kesehatan atau aktor yang berperan sebagai profesi kesehatan dan atau menggunakan setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium”. Iklan obat juga tidak boleh memberikan pernyataan yang bersifat superlatif atau komparatif tentang indikasi, kegunaan atau manfaat obat.
Oleh sebab itu, Etika Pariwara Indonesia harus ditegakkan. Hal ini bertujuan untuk menjaga budaya bangsa dan kepentingan masyarakat luas seiring maraknya sikap individualis dan materialis sebagai dampak dari modernisasi. Kesadaran menerapkan tatanan etika dengan mengacu pada Etika Pariwara Indonesia adalah wujud pemberdayaan pelaku dan industri periklanan sendiri untuk ikut melindungi budaya bangsa (Habib, 2006). Etika Pariwara Indonesia harus menjadi pedoman utama bagi para pelaku dalam industri periklanan, sehingga hasil kerja mereka bisa sesuai dengan nilai dan norma yang dianut masyarakat.
Sebagai pendukungnya, partisipasi dari berbagai pihak juga sangat diperlukan. Produsen harus memberikan data dan informasi yang benar tentang produknya kepada biro iklan. Sedangkan biro iklan menyajikan data dan informasi tersebut melalui kreativitasnya dengan memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat. Media massa berperan menyaring iklan yang akan ditayangkan. Selain itu, sejumlah asosiasi pendukung Etika Pariwara Indonesia, juga berperan dalam memberi masukan dan kritikan terhadap proses penegakan Etika Pariwara Indonesia. Namun yang terpenting adalah peran konsumen sendiri. Sebab, pada dasarnya iklan hanya memberi preferensi dalam menentukan keputusan pembelian. (Tholib)



Pustaka :
Etika Pariwara Indonesia (Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia).
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 386/Men.Kes/Sk/IV/1994 tentang Pedoman Periklanan: Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan Makanan-Minuman.

1 komentar:

conquerer mengatakan...

thanks bro,, tulisannya cukup membantu dalam wawasan saya