Minggu, 29 Juni 2008

Bundaran Purnama

Hingga malam menjadi selarut ini, Fadli belum juga merasa ngantuk apalagi memejamkan kedua matanya. Mungkin, secangkir kopi susu yang tadi diminumnya telah menyirnakan semua rasa kantuknya. Kemudian Ia berjalan keluar dari kamar kostnya dan duduk di sebuah kursi di depan salah satu kamar teman kostnya. Ia bermaksud untuk mencari udara segar sambil melihat bundaran purnama yang pada saat itu terlihat begitu indah.
Malam semakin terasa dingin, menggigil, hingga terasa ke dalam tulang sum-sum. Namun Fadli malah bersikap aneh, Ia justru melepas kaosnya karena merasa gerah. Fadli kemudian memandangi suasana di sekelilingnya. Begitu sepi dan senyap, mungkin saja semua teman kostnya tertidur pulas.
Tiba-tiba semua lampu di kost padam, suasana di sekeliling pun menjadi kelam. Dalam kegelapan, Fadli merenung dan termangu sendiri, hingga cicak-cicak menaruh heran padanya. Apa yang sedang dipikirkannya? Nampaknya Ia sedang kasmaran dengan seorang wanita, namanya Sekar, salah satu teman kuliahnya. Fadli memang mudah suka pada wanita, namun yang dirasakannya kali ini sungguh berbeda. Sekar memang bukan sosok wanita cantik yang sempurna, namun Ia telah merebut hati Fadli dengan pesonanya. Sekar adalah sosok wanita sederhana, murah senyum, humoris, dan selalu bersikap baik dengan siapapun, baik dengan orang yang sudah dikenal maupun dengan orang yang belum dikenalnya.
Beberapa saat kemudian, Fadli kembali masuk ke dalam kamar kostnya. Karena merasa begitu lelah, Ia merebahkan tubuhnya di atas selembar karpet tebal berukuran 1x3 meter di dalam kamarnya. Dalam kegelapan di kamarnya, Ia mencoba untuk tidur sambil mendengarkan acara campursari yang disiarkan oleh stasiun radio favoritnya. Namun, usaha itu tetap saja tidak berhasil.

***

Jeratan asmara benar-benar telah membuat Fadli tidak sadar sepenuhnya. Pikirannya selalu belingsatan setiapkali mengingat seraut wajah manis milik Sekar yang selalu terbawa dalam setiap lamunannya. Dalam kondisi seperti itu, Ia selalu gagal menguasai perasaannya hingga berguling-guling di atas karpet tebalnya dengan gelisah. Lantas, Ia melafalkan apa saja yang bisa menenangkan hatinya. Namun tetap saja sulit meski telah dipaksa, seakan-akan ketenangan yang dimilikinya telah tersedot habis.
Saat itu Fadli tidak lagi bisa berpikir tenang, otaknya benar-benar kosong ide. Namun, masih ada bayangan yang memenuhi pikiran dan imajinasinya. Bayangan tersebut tidak lain adalah seraut wajah miliki Sekar. Fadli kemudian melamun dan tanpa sadar menyebut nama ‘Sekar’ huruf demi huruf. Apalagi yang tersisa dari diri Fadli untuk memikirkan wanita itu, tentang dahsyatnya perasaannya, tentang senyum manisnya, dan tentang gelora di hati setiapkali Ia teringat apapun mengenai Sekar.Tepat pukul satu dini hari, Fadli keluar dari kamar kostnya lantaran listrik di kostnya masih padam. Namun untuk kali ini, Ia berdiri di halaman depan kamarnya dan menengok ke atas langit. Ternyata bundaran purnama terlihat masih bersinar di antara sekumpulan awan malam. Seolah-olah Ia tidak ingin meredup sedikitpun dan masih setia membagi terangnya pada kehidupan malam. Lewat sepoinya angin malam yang mendesau di telinga, Fadli ingin menitipkan salam rindunya untuk Sekar yang sedang tertidur dalam mimpi. Semoga saja angin mau menyampaikannya dengan baik-baik agar bisa diterima dengan baik-baik juga. (Tholib)

Tidak ada komentar: