Minggu, 29 Juni 2008

Anarkisme dalam Demokrasi

Freedom of speak atau kebebasan berpendapat adalah hak asasi setiap bangsa Indonesia. Kebebasan berpendapat adalah salah satu elemen penting dari kehidupan Demokrasi. Di dalam pemerintahan rezim Orde Baru, kebebasan warga negara untuk berpendapat di muka umum dikebiri oleh penguasa pada saat itu. Sebaliknya di Orde Reformasi, setiap warga negara bebas menyatakan pendapatnya di muka umum. Tentu saja kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang bertanggungjawab. Dalam kehidupan demokrasi yang sesungguhnya, kebebasan berpendapat seharusnya diartikulasikan dengan cara-cara yang arif dan beretika. Namun dalam prakteknya, kebebasan tersebut acapkali disampaikan dengan cara-cara kekerasan hingga berakhir anarkis.
Bagaimanapun juga, kekerasan bukanlah cara yang dibenarkan dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Di manapun juga, tindakan kekerasan hanya menyisakan duka dan penderitaan bagi para korbannya, baik dari pihak-pihak yang bertikai maupun pihak-pihak lain di luar mereka. Efek negatif dari tindakan kekerasan cukup beragam, mulai dari kerusakan materiil hingga hilangnya nyawa seseorang. Tindakan kekerasan biasanya muncul akibat diabaikannya nilai-nilai, norma-norma, akal sehat, dan hati nurani. Suatu kelompok cenderung akan berusaha untuk mencapai tujuannya melalui berbagai cara, bahkan tidak jarang ada yang menggunakan cara-cara ekstrim.
Tindakan kekerasan juga pernah mewarnai proses transisi kehidupan politik di Indonesia dari sistem politik monolitik di era Orde Baru menuju sistem politik demokrasi di era Orde Reformasi. Pada saat itu, kekecewaan rakyat Indonesia terhadap kinerja pemerintah telah memuncak dan melahirkan gelombang demonstrasi besar-besaran di beberapa daerah, baik oleh mahasiswa, buruh, maupun komponen masyarakat yang lain. Aksi demonstrasi tersebut berujung anarkis, yaitu terjadinya bentrok antara para pendemo dengan aparat keamanan. Memang, tujuan demonstrasi untuk menjatuhkan rezim Orde Baru telah tercapai. Akan tetapi, aksi tersebut juga mengakibatkan dampak buruk yang luar biasa, mulai dari penculikan mahasiswa, rusaknya berbagai fasilitas umum, penjarahan di mana-mana, korban luka-luka maupun meninggal, hingga korban pemerkosaan yang banyak berasal dari wanita etnis Tiong Hoa.
Kasus yang sama juga terjadi beberapa waktu yang lalu. Demontrasi mahasiswa yang berujung pada aksi anarkis terjadi di depan kompleks gedung DPR/MPR. Aksi anarkis tersebut bermula ketika para demonstran membakar foto presiden dan wakil presiden serta membakar ban bekas. Polisi kemudian langsung memadamkannya dengan menggunakan mobil water canon. Beberapa saat kemudian suasana pun mulai memanas. Para demonstran mulai berupaya merobohkan pagar kompleks gedung DPR/MPR serta melempar batu dan bom molotov ke arah aparat keamanan yang sebelumnya sudah berjaga-jaga di dalam kompleks gedung DPR/MPR. Para aparat keamanan pun kemudian bergerak maju menghentikan aksi anarkis tersebut. Aksi kejar-kejaran antara aparat keamanan dengan para demonstran pun tidak terelakkan lagi. Aksi anarkis tersebut telah menimbulkan korban materiil dan korban luka-luka, baik dari pihak demonstran maupun dari aparat keamanan.
Banyak pihak yang menyayangkan terjadinya aksi tersebut. Bagaimanapun juga aksi anarkis tidak dibenarkan dalam sistem demokrasi dengan alasan apapun, sebab aksi tersebut hanya akan menyisakan kerugian dan kesedihan. Dalam kehidupan demokrasi, jalur mediasi atau musyawarah seharusnya lebih diutamakan sebagai cara untuk menyelesaikan berbagai konflik kepentingan daripada menggunakan cara-cara kekerasan. Melalui musyawarah, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik bisa duduk bersama menyelesaikan masalah dengan tenang tanpa emosi dan kekerasan. Selain itu, hasil keputusan yang dicapai pun bisa melegakan semua pihak sebab sudah melalui kesepakatan bersama. (Tholib)

Tidak ada komentar: