Minggu, 29 Juni 2008

Galaunya Saujana

Yogyakarta sudah seperti rumah kedua bagi Saujana setelah Madiun. Banyak sekali kenangan manis yang diperolehnya selama menempuh pendidikan tinggi di kota tersebut. Sewaktu masih duduk di bangku SMA dulu, Saujana memang sudah berniat untuk kuliah di kota tersebut, tepatnya di Universitas Gadjah Mada.
Rasa cinta Saujana terhadap kota Yogyakarta semakin menguat setelah Ia mengenal dan jatuh hati pada seorang gadis asal kota Gudeg tersebut, namanya Swastri. Swastri adalah salah satu mahasiswi jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Kebetulan Saujana dan Swastri sama-sama menjadi anggota salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di UGM yang bergerak di bidang jurnalisme kampus. Nama UKM itu adalah Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Bulaksumur UGM. Namun di kalangan anggotanya sendiri, UKM tersebut lebih familiar dengan sebutan Bul.
Dari situlah perasaan itu bermula. Dalam suatu musyawarah besar yang dihadiri oleh semua anggota Bul. Saat itu, baik Swastri maupun Saujana sama-sama datang. Ketika musyawarah sedang berlangsung, Saujana diam-diam memperhatikan Swastri yang sedang memperhatikan salah seorang teman yang berbicara. Jantungnya berdebar, dag dig dug, seperti kendang yang ditabuh. Matanya berbinar-binar saat memandang senyum manis yang keluar dari bibir mungil Swastri. Namun, Saujana segera menundukkan wajahnya saat Swastri menatapnya.
Saujana memang memiliki banyak teman wanita di Bul. Namun, Ia lebih kagum pada sosok Swastri yang ramah. Saujana suka pada pribadi Swastri bukan hanya karena Ia cantik, tapi juga karena Ia seorang gadis yang baik hati. Meskipun Saujana jarang bertemu Swastri dan kalaupun bertemu keduanya tidak terlalu banyak bicara, Swastri selalu menyenangkan dan apa adanya. Ia sangat antusias ketika menceritakan segudang aktifitas yang dijalaninya. Maklum saja, Swastri adalah seorang mahasiswi yang super sibuk, mengurus berbagai kegiatan di sana-sini, dan mengikuti sejumlah seminar atau acara yang lain. Bahkan kini Ia tambah sibuk, sebab mengurus kursus privat yang Ia rintis bersama teman-teman kuliahnya.

***

Suatu hari, Saujana sedang chatting dengan Niken, sahabat baik Swastri.
“Pagi Niken. Bagaimana kabarmu pagi ini?” sapa Saujana.
“Pagi juga Na. Alhamdulillah kabarku baik-baik saja. Kabarmu sendiri bagaimana Na?” Niken balik tanya.
“Sama, sampai saat ini kabarku juga baik-baik saja.” jawab Saujana.
“Eh, kamu masih sering bertemu dengan Swastri nggak Nik?” tanya Saujana.
“Untuk saat ini, aku sudah jarang sekali bertemu dia. Memangnya ada apa?”
“Ahh… Nggak ada apa-apa kok Nik. Aku Cuma tanya saja.” jawab Saujana dengan sedikit menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.
“Hhmmm… Kangen ya sama Swastri? Jangan-jangan kamu naksir dia Na?”
“Lho… Kamu kok tahu perasaanku Nik. Padahal aku belum mengatakan apa-apa lho.” jawab Saujana dengan heran.
“Ya tahu dong. Dari gelagatmu sudah kelihatan kok kalo kamu naksir dia. Ngomong-ngomong, kamu sudah PDKT sama dia lum?” tanya Niken.
“Belum sih. Sebenarnya aku ingin sekali mendekatinya, tetapi aku masih ragu-ragu. Menurutmu Nik, Swastri itu tipe cewek yang bagaimana sih? Kira-kira jika aku mendekatinya, ada peluang nggak ya?” tanya Saujana.
“Swastri itu tipe cewek yang asyik kalau diajak ngobrol. Tapi, dia itu kurang suka kalau diajak berbicara mengenai masalah pribadinya, misalnya laki-laki yang disukainya. Jadi, kalo ada lelaki yang kelihatan berusaha mendekatinya, Ia pasti akan mengelak,” jawab Niken.
“Ada saran untukku nggak, Nik?” tanya Saujana.
“Kalau dengan puisi, gimana Nik?”
“Swastri juga suka puisi. Tapi kalo diskusi puisi dengan cowok, apalagi tentang puisi romantic, Ia pasti akan menganggapnya omong-kosong.” jawab Niken.
“Mungkin itu salah satu bentuk penolakan terhadap cinta yang datang dari orang yang tidak diharapkannya Nik.” balas Saujana.
“Sama saja Na. Kalaupun hal itu datang dari orang yang disukainya, Swastri juga akan menganggapnya omong-kosong.” tegas Niken.
“Dan kalau ternyata dipermainkan, rasanya kan sakit sekali, Nik.”
“Apalagi kalau makin tinggi terbuai, kalau jatuh kan makin sakit.”

***

Saujana merasa tidak nyaman ketika memikirkan perasaannya pada Swastri bila dikaitkan dengan ucapan Niken. Padahal Ia sudah menulis sebuah puisi untuk Swastri sebagai ungkapan rasa cintanya.

Cahaya senja merona di pelupuk mataku,
dengan bias-bias kerinduan,
kala sepasang merpati terbang merajut kasih,
di atas beningnya danau kehidupan,
dengan segenggam kilau permata,
berpadu mesra.

Seanggun parasmu,
terlukis di lembaran mimpi,
menyingkap tirai kesunyian yang terbenam,
dan sekuntum bunga menebar pesona,
dengan seribu rayuan puitis.

Aduhai seanggun parasmu,
melagukan syair-syair pemikat,
bersama desisan suara angin,
melirik cinta dalam hati,
kala kutangkap senyum manismu,
dari seanggun paras bidadari.


Saujana menjadi gelisah. Ia masih memendam rasa cintanya pada Swastri, namun Ia merasa kurang berani untuk menyatakannya secara langsung. Saujana memang kurang menunjukkan minat seriusnya untuk mendekati Swastri, karena pikirannya selalu dibayangi ketakutan bila Swastri menolak dan malah menjauhinya. (Tholib)

Tidak ada komentar: